Rabu, 27 Mei 2009

makalah perluasan kota mekkah

PERLUASAN KOTA MEKAH

I. PENDAHULUAN

Puji syukur kita panjat kehadirat Allah yang mana telah memberikan limpahan rahmat-nya pada kita. Shalawat nan salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Meskipun haji diwajibkan hanya sekali seumur hidup, dalam kenyataan banyak sekali orang Islam dari seluruh penjuru dunia yang melaksanakan rukun Islam kelima ini sampai tujuh kali, bahkan belasan kali selama hidupnya.

Sementara itu, pemeluk Islam di dunia terus bertambah jumlahnya. Tahun 2008, jumlah umat Islam di dunia diperkirakan satu miliar jiwa, tersebar di lima benua, baik di negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim maupun minoritas, di negara berkembang yang miskin dan di negara maju yang kaya. Akibatnya, meskipun kuota haji dibatasi satu per mil, di dalam kenyataan jumlah jemaah haji yang datang ke Mekah dari berbagai penjuru dunia pada waktu belakangan ini rata-rata mencapai tiga juta jiwa.

II. RUMUSAN MASALAH

  1. Sebab Perluasan Kota Mekah
  2. Hukum Perluasan Kota Mekah
  3. Perluasan Masjidil Haram Tak Ganggu Kenyamanan Beribadah

III. PEMBAHASAN

  1. Sebab Perluasan Kota Mekah

Tersedianya alat transportasi massa yang cepat dan meningkatnya kemampuan ekonomi umat, menambah banyaknya jumlah jemaah haji tersebut. Dalam waktu yang bersamaan dan dalam tempo yang terbatas, hanya dalam waktu lima hari, jemaah haji itu hadir bersama di Padang Arafah, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, dan melempar Jamarat, melakukan Tawaf Ifadhah mengelilingi Kabah di dalam Masjidilharam, dan bersai.

Akibatnya, di sejumlah titik yang dilalui dalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji itu terjadilah kehadiran kaum Muslimin dalam jumlah yang sangat besar dalam waktu bersamaan, dan berdesak-desakan karena sempitnya lahan atau terbatasnya fasilitas. Akibat lebih lanjut, perkemahan sebagian jemaah seperti untuk jemaah haji Indonesia dan Turki selama mabit di Mina justru ditempatkan di kawasan di luar Mina, yang selanjutnya menimbulkan persoalan hukum tentang keabsahannya secara syara. Bahkan terkadang, sebagai akibat berdesak-desakan itu, terjadilah kecelakaan yang tidak perlu yang menimbulkan korban jiwa ratusan jumlahnya, bahkan ribuan jiwa, seperti yang terjadi di terowongan Mina, Al-Mu’aishim. Korban jiwa juga terkadang terjadi di tempat pelemparan jumrah (Jamarat) dan di tempat sai Mas’a). Untuk menghindari jatuhnya korban lebih lanjut, dan untuk meningkatkan kenyamanan jemaah haji dalam menjalankan ibadah, pemerintah yang menguasai tanah Hijaz (Mekah, Madinah, dan Taif) telah mengambil sejumlah langkah seperti perluasan Masjidilharam di Mekah, pelebaran jalan raya, pembuatan jalan baru, pembuatan terowongan, pelebaran Jamarat bahkan membuatnya bertingkat-tingkat bersusun ke atas sampai empat atau lima tingkat, perluasan tempat sai dan membuatnya bersusun tiga atau empat tingkat, dan lain-lain.

Terakhir adalah saran dan upaya Raja Abdullah bin Abdul Aziz dari Saudi Arabia sejak tahun 2007 untuk melebarkan Mas’a dan memperluas Jamarat dengan membangunnya menjadi empat lantai. [1]

  1. Hukum Perluasan Kota Mekah

Perluasan Jamarat, dan pembangunan kemah jemaah di luar Mina untuk ibadah mabit di Mina, muncullah pertanyaan-pertanyaan hukum, apakah perubahan itu masihdapat dibenarkan oleh syara’ dan tidak mengakibatkan tidak sahnya haji seseorang?

Ini tentu pertanyaan penting dan dapat mengkhawatirkan jemaah haji. Apalagi, kalau dikaitkan dengan kenyataan kepergian seseorang untuk beribadah haji ke tanah suci adalah puncak investasi seumur hidup seorang Muslim.

Membantu menjawab pertanyaan tersebut, Ketika pembangunan dan perubahan itu merambah kepada situs ibadah yang suci seperti perluasan Mas’a, Menteri Agama RI, H. Muhammad Maftuh Basyuni, telah membentuk sebuah tim penelitian dari Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama untuk mengkaji masalah tersebut yang dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 103 Tahun 2008 tanggal 12 Agustus 2008.[2] Hasil penelitian kemudian dituangkan dalam buku berjudul "Kajian Dasar Syar’i Perluasan Mas’a, Jamarat, dan Mabit di Luar Mina". Para ulama membolehkan dan mendukung pemerintah Arab Saudi melakukan perluasan Mas’a dari 20 meter menjadi sekitar 40 meter. Para ulama berargumen, (1) Maqâshidusy-syarî’ah, termasuk pencegahan jatuhnya korban jiwa akibat berdesak-desakan dalam melaksanakan sai. Salah satu tujuan syariat Islam adalah melindungi jiwa (hifzh al-nafs). Oleh karena itu, segala sesuatu yang dapat mengakibatkan terbunuhnya/tewasnya jiwa manusia harus dihindari.

(2) Sejumlah nash dalam Alquran juga menyebutkan, "…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan" (Al-Haj:78). Melalui syariat-Nya, Allah tidak bermaksud menyulitkan dan memberatkan manusia, di luar batas kemampuan mereka, yang mengancam jiwa dan keselamatan mereka. Oleh karena itu, ada ketentuan rukhshah atau keringanan dalam pelaksanaan berbagai ibadah, baik yang wajib maupun sunah. Bukankah Zat Yang Maha Agung berkata, "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."

Perluasan yang dilakukan di area mas’a merupakan upaya untuk memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi jemaah haji dan umrah, mengingat jumlah jemaah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara daya tampung lokasi masya`ir (tempat-tempat pelaksanaan ritual haji) sangat terbatas. Oleh karena itu, upaya perluasan sejalan dengan pesan yang terdapat dalam ayat di atas.

(3) Tidak ada nash yang sharih mengenai batas lebar Mas’a. Zaman Nabi, dinding Mas’a sebenarnya bukanlah batas Mas’a. Tidak ditemukan keterangan yang pasti (nash yang sharîh) baik dari Alquran, hadis Rasulullah dan para ulama mengenai batas lebar Mas’a. Yang terpenting adalah berada di antara Shafa dan Marwa (al-bayniyyah), dan menempuh jarak antara keduanya.

Berdirinya bangunan atau tembok di sekitar Mas’a yang berubah-ubah; kadang menyempit dan kadang meluas, membuktikan bahwa agama tidak membatasi lebar Mas’a.

Menurut Syaikh Al-Mani’, lebar Mas’a adalah lokasi di antara Shafa dan Marwa. Atau dengan kata lain, lebar Mas’a adalah lebar bukit Shafa dan Marwa, dari arahBarat ke Timur.

(4) Dengan meng-ilhaq-kan bolehnya memperluas tempat tawaf melebihi yang ada pada zaman Nabi. Tersambungnya sesuatu dengan lainnya memberikannya hukum yang sama, seperti bersambungnya shaf dalam salat jamaah antara yang di dalam masjid dan yang di luar, atau meluasnya tempat tawaf saat puncak kepadatan.[3]

(5) Sejumlah kaidah fikihmenyebutkan, "Sesuatu yang menimbulkan bahaya harus dihilangkan." Berdesak-desakannya jemaah haji dalam melaksanakan ibadah di satu tempat pada waktu yang bersamaan tidak menimbulkan kenyamanan, bahkan membahayakan dan mengancam keselamatan jiwa. Oleh karena itu harus dicegah dengan berbagai cara, antara lain dengan memperluas tempat sai.

Empat ulama besar Arab memberikan fatwa atas kebenaran perluasan Mas'a di Masjidil Haram, Mekah, dan dapat dicatat dalam sejarah serta memiliki nilai berkah bagi umat Muslim yang bertujuan untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan jamaah haji dan umrah dalam melaksanakan ibadah sa'i.

Keempat mufti yang memberikan pernyataan adalah Mufti Mesir Dr Ali Jum'ah, dua orang dari mufti Libanon yaitu Dr Muhammad Rasyid Qabbani dan Dr Muhammad Ali Al-Juzu, dan mufti yang keempat adalah Dr Akrama Shabri dari Palestina."Perluasan Mas'a merupakan tuntutan syar'i, " kata Dr Akrama Shabri.

Bahkan, Syeikh Yusuf Al-Qardhawi, ulama besar Mesir, juga tidak mempermasalahkan perluasan Mas'a dan pemindahan Maqam Ibrahim dari tempat asalnya. Menurut Al-Qardhawi, yang pernah dikutip harian Asharqul Awsath, Rasulullah selalu memberi kemudahan untuk haji dengan sabdanya yang terkenal pada saat haji wada', "If'al-wala kharaj (lakukan dan tak ada masalah).

  1. Perluasan Masjidil Haram Tak Ganggu Kenyamanan Beribadah

Jemaah hanya bisa mengungkapkan decak kagum dari kejauhan. Perluasan masjid yang mengelilingi Ka`bah ini acap kali terdengar saat jemaah tiba di Mekkah. Proyek pembangunan dan perluasan masjid itu berjalan atas perintah Raja Abdullah bin Abdul Aziz dengan maksud memberi kelancaran dan kenyamanan pelaksanaan ibadah para dhuyufurrahman dari berbagai mancanegara di masa mendatang.[4]

Bagi warga muslim dari tanah air, tak bisa lagi bernostalgia di Pasar Senggol sebuah pasar yang hanya populer di kalangan orangtua dari Indonesia. Untuk memberi kenyamanan calon jemaah haji, pemerintah setempat juga membuat perluasan terowongan untuk pejalan kaki jalur keluar masuk Masjidil Haram.

IV. KESIMPULAN

Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni mengakui bahwa tantangan penyelenggaraan haji untuk tahun ini lebih berat. Dampak dari proyek perluasan dan renovasi Masjidil Haram Mekah akan membuat ketersediaan pemondokkan bagi jamaah haji semakin berkurang.

Hal ini tak saja dirasakan bagi jemaah Indonesia, dari berbagai negara lain pun mengalami hal serupa. Ketika berlangsung Rapat Kerja antara Menteri Agama (Menag) RI M. Maftuh Basyuni bersama anggota Komisi VIII, di DPR, Jakarta, terungkap pula bahwa pelebaran Masjid paling utama bagi umat Islam sedunia itu sendiri memakan jarak hingga radius 380 meter.

Ketua Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) 1428 H/2007 M, Nur Samad Kamba menyatakan, proyek perluasan di Masjidil Haram, Makkah merupakan keputusan Raja yang secara turun temurun yang memerintah Arab Saudi.

Undang-undang Dasar Saudi Arabia menyebutkan, ada kewajiban setiap Raja melakukan perluasan Masjidil Haram dan menyediakan sarana dan fasilitas lebih baik bagi jamaah haji.

Namun semua itu tak akan mengganggu kenyamanan calon jemaah haji dalam beribadat. Kesulitan akibat jauhnya jarak pemondokan dari Masjidil Haram teratasi setelah tersedianya 600 bus yang dapat dioperasikan secara bertahap.

V. PENUTUP

Demikian makalah ini dibuat tentunya terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu kritik dan sarana sangat saya harapkan sehingga dapat menyempurnakan makalah ini semoga makalah ini bermanfaat amin



Tidak ada komentar: