Minggu, 07 Juni 2009

makalah perluasan tempat sa'i

PERLUASAN MAS’A

I. PENDAHULUAN

Puji syukur kita panjat kehadirat Allah yang mana telah memberikan limpahan rahmat-nya pada kita. Shalawat nan salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Meskipun haji diwajibkan hanya sekali seumur hidup, dalam kenyataan banyak sekali orang Islam dari seluruh penjuru dunia yang melaksanakan rukun Islam kelima ini sampai tujuh kali, bahkan belasan kali selama hidupnya.

Sementara itu, pemeluk Islam di dunia terus bertambah jumlahnya. Tahun 2008, jumlah umat Islam di dunia diperkirakan satu miliar jiwa, tersebar di lima benua, baik di negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim maupun minoritas, di negara berkembang yang miskin dan di negara maju yang kaya. Akibatnya, meskipun kuota haji dibatasi satu per mil, di dalam kenyataan jumlah jemaah haji yang datang ke Mekah dari berbagai penjuru dunia pada waktu belakangan ini rata-rata mencapai tiga juta jiwa.

II. RUMUSAN MASALAH

  1. Sebab Perluasan mas’a
  2. Hukum Perluasan mas’a
  3. pro dan kontra perluasan mas’a
  4. perluasan mas’a tidak diragukan lagi

III. PEMBAHASAN

  1. Sebab Perluasan mas’a

Permasalahan haji, terutama yang menyangkut kepadatan jamaah adalah masalah yang selalu timbul setiap musim haji. Penyebab utamanya karena lokasi-lokasi di Kota Suci Makkah dan sekitarnya tidak pernah bertambah, sementara jumlah jamaah bertambah setiap tahun.
Yang namanya Shafa, Marwa, Mina, Muzdalifah, Arafah dan lain-lain, sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang tetap itu-itu juga. Gunung tidak pernah melebar, Arafah tidak pernah meluas.

Untuk mengantisipasi membesarnya jumlah jamaah haji dan terbatasnya tempat-tempat ibadah, Pemerintah Saudi Arabia telah melakukan dua hal. Pertama, memperluas tempat-tempat ibadah haji. Kedua, melalui OKI (Organisasi Konferensi Islam) dibuat kuota jamaah, dari 1.000 orang penduduk Muslim dapat mengirimkan satu orang untuk berhaji. Ini artinya, apabila jumlah umat Islam di dunia ada satu miliar orang, yang dibolehkan menjalankan ibadah haji hanya satu juta orang.

Sekiranya sistem kuota ini diterapkan secara ketat, tampaknya itu juga belum mengurangi kepadatan jamaah di lokasi tertentu, seperti tempat pelontaran jamrah (bukan jumrah), tempat tawaf, sai, dan lain-lain. Apalagi sering diberitakan jumlah jamaah haji mencapai dua juta orang atau lebih.

Salah satu penyebab kepadatan jamaah haji adalah banyaknya orang yang beribadah haji berkali-kali. Ini karena ada anggapan semakin sering orang pergi ke Makkah, semakin baik pula citranya di masyarakat, baik dalam arti ketaatannya kepada Allah karena sering mendatangi rumah-Nya dan baik dari segi kantongnya karena banyak uangnya. Karenanya, di sebuah daerah, orang lelaki yang sudah berhaji dua kali, ia akan mudah mendapatkan istri kedua.[1]

Kepala Dua Masjid Suci Syeikh Abdurrahman al Hussain menyatakan, bahwa dana sebesar 2,98 Miliar telah digelontorkan untuk proyek perluasan Masjidil Haram, Makkah, tulis Saudi Gazette, Kamis (23/4).
Perluasan tempat Sai (yang menghubungkan antara sofa dan Marwa) menjadi salah satu prioritas utama untuk menampung bertambahnya jamaah, khususnya disaat Ramadhan dan musim Haji.

Otoritas Masjidil Haram memandang penting pembangunan lima jembatan yang masuk dari pemondokan sekitar menuju tempat Sai.
Al-Hussein menilai lonjakan jumlah jamaah haji setiap tahunnya menuntut adanya perluasan Masjidil Haram, untuk itulah, pada masa Raja Fahd tempat sai diperluas hingga mampu menampung 200.000 jamaah.

Meskipun demikian pada tahun 2007, perlusan tersebt dirasa maih belum cukup, hal inilah yang mendorong Raja Abdullah memerintahkan perluasan tempat sai seluas 20 meter disamping menambah lantai pada tempat sai.
Sebelumnya, tempat sai hanya bisa menampung 44.000 jamaah per-jam, namun dengan perluasan ini, kapasitas tampung tempat sai dapat mengakomodir sebanyak 118.000 jamaah per-jam.
Sebanyak 3000 pekerja dikerahkan dalam proyek tersebut, kata pimpinan proyek Abdul Muhsen, diperkirakan proyek ini akan selesai sebelum musim haji tahun depan[2]

  1. Hukum Perluasan Mas’a

Syar'i perluasan tempat sa'i (Mas'a) di Masjidil Haram, Makkah, yang dipertanyakan sejumlah ulama Jawa Tengah minggu lalu sudah bisa terjawab dengan jelas dan pasti. Dalam perluasan itu tidak ada pergeseran tempat, dan perluasannya sudah benar serta sesuai hukum syari'at Islam.

"Perluasan Mas'a adalah pekerjaan yang benar dan dapat dicatat dalam sejarah serta memberikan berkah kepada umat Muslim," demikian dilansir dari salah satu judul berita Koran harian Okaz termasyhur di Arab Saudi yang terbit Selasa kemarin (22/4/2008). Empat ulama besar Arab memberikan fatwa atas kebenaran perluasan Mas'a di Masjidil Haram, Makkah, dan dapat dicatat dalam sejarah serta memiliki nilai berkah bagi umat Muslim yang bertujuan untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan jamaah haji dan umrah dalam melaksanakan ibadah sa'i.

Keempat mufti yang memberikan pernyataan adalah Mufti Mesir Dr Ali Jum'ah, dua orang dari mufti Libanon yaitu Dr Muhammad Rasyid Qabbani dan Dr Muhammad Ali Al Juzu, dan mufti yang keempat adalah Dr Akrama Shabri dari Palestina.

Dr Akrama Shabri menyatakan, "Perluasan Mas'a merupakan tuntutan syar'i. Para ulama membolehkan perluasan Mas'a karena tidak ada pergeseran dari tempat aslinya, hanya pelebaran bangunan yang diprakarsai oleh Khadimul Haramain Raja Abdullah bin Abdul Aziz sebagai proyek Islami terbesar dan patut dicatat dalam sejarah."Pernyataan Dr Muhammad Rasyid Qabbani, "Perluasan Mas'a tidak keluar dari batas syar'i pelaksanaan ibadah sa'i. Perluasan baru tersebut demi kenyamanan jamaah dan sudah waktunya dilakukan perluasan agar dapat menampung jamaah dalam jumlah lebih banyak, ini pun merupakan salah satu program Khadimul Haramain Raja Abdullah bin Abdul Aziz yang telah disepakati secara hukum syar'i untuk memberikan pelayanan terhadap dhuyufurahman."Mufti Lebanon, Dr Muhammad Ali Al Juzu menegaskan, "Perluasan Mas'a memberi pengaruh positif terhadap kenyamanan jamaah haji dan umrah. Proyek ini adalah pekerjaan mulia Khadimul Haramain Raja Abdullah bin Abdul Aziz untuk memberikan pelayanan terhadap umat Muslim dan merupakan pekerjaan Islami yang sesuai hukum syariat Islam dan demi kemaslahatan ummat."Mufti Mesir Dr Ali Jum'ah menyatakan, "Semua dalil syar'i membenarkan perluasan Mas'a. Para ulama Islam telah sepakat terhadap perluasan tersebut dan tidak bertentangan dengan agama. Khadimul Haramain Raja Abdullah bin Abdul Aziz melakukan perluasan Mas'a adalah pekerjaan sesuai hukum syar'i yang benar dan merupakan pekerjaan yang berkah bertujuan memberikan pelayanan kepada umat Muslim."[3]

Masalah perluasan tempat sa’i (mas’a) merujuk pada hukum perluasan masjid. Para ulama tidak berbeda pendapat dalam hal hukum perluasan masjid. Semua bagian yang dimaksudkan sebagai perluasan masjid termasuk bagian masjid. Hanya saja, perluasan tempat sa’i terkait dengan keberadaan dua bukit, yaitu Safa dan Marwah. Sama halnya perluasan tempat mabit di Mina, yakni terkait dengan batas-batas geografis kota itu sendiri.

Perluasan jalur sa’i diperbolehkan banyak ulama dengan beberapa tinjauan, di antaranya:

1. Tempat yang ada sekarang tidak lagi memungkinkan untuk menampung jamaah haji yang setiap tahun semakin bertambah. Kenyamanan dan keamanan jamaah akan semakin memburuk kalau perluasan tidak dilakukan.

2. Perluasannya tidak terlalu jauh dari lokasi sa’i yang sudah ada sekarang, dan wilayah yang dipakai masih berada di antara Safa dan Marwah. Lain halnya kalau perluasan itu sudah terlalu jauh dan tidak lagi melekat dengan lokasi semula, misalnya dibuatkan terpisah yang jaraknya dua kilometer dari tempat sa’i yang sudah ada sebelumnya.

Ada juga ulama yang tidak memperbolehkan perluasan dimaksud dengan alasan yang berbeda, tetapi ujung-ujungnya akan berakibat pada pembatasan jumlah jamaah haji (kuota). Jadi, pertanyaannya adalah: apakah mengurangi kuota atau memperluas tempat sa’i? Apa dalilnya? Jawabannya: membatasi jamaah haji tidak pernah dikerjakan para sahabat Rasulullah SAW, tetapi memperluas tempat ibadah sering mereka lakukan. Dengan tetap menghormati pendapat yang tidak memperbolehkan perluasan tempat sa’i, saya berpihak kepada pendapat yang memperbolehkan karena lokasi pembangunan itu tidak terlalu jauh dari jalur yang sudah ada dan masih berada di antara Safa dan Marwah. Wallahu Ta’ala a’lam.

Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, ulama besar Mesir, juga tidak mempermasalahkan perluasan Mas'a dan pemindahan Maqam Ibrahim dari tempat asalnya. Menurut Al-Qardhawi, yang pernah dikutip harian Asharqul Awsath, Rasulullah selalu memberi kemudahan untuk haji dengan sabdanya yang terkenal pada saat haji wada': "If'al wala kharaj (lakukan dan tak ada masalah).

Sesuai fakta Mas'a tetap berada pada tempatnya semula yaitu antara Safa dan Marwa dan tidak benar kalau lokasi bergeser ke lokasi yang lain yang disebut antara Gararah dan Jabal Qubais. Garis start dan finish-nya tetap di bukit Safa dan bukit Marwa. Dengan demikian tidak diperlukan lagi adanya pernyataan resmi dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi atau pihak yang bertanggung jawab di Masjidil Haram ataupun dari pihak lain tentang bagaimana hukumnya perluasan Mas'a itu.

Konsul Haji Indonesia Dr M Nur Samad Kamba MA pada pekan lalu telah mengemukakan bahwa, "Perluasan Mas'a tidak dilakukan semena-mena oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, selain tanpa harus mendengar para ulamanya dan juga sejumlah ulama lainnya. Dan tidak benar jika dikatakan bahwa mas'a beralih atau bergeser dari Gararah sampai Jabal Qubais."[4]

  1. Pro dan Kontra Perluasan Mas’a
Perluasan ini bertujuan memudahkan jamaah haji dan umroh menjalankan Sa'i. Atas keinginan Raja Abdullah, kalangan ulama' mulai membahas kontroversi ini sejak dua tahun yang lalu.
 
Sejarah Perluasan Mas'a
Sudah menjadi tradisi di kalangan penguasa Tanah Suci Makkah melakukan yang terbaik, pemeliharaan dan perluasan Masjidil Haram dan tempat-tempat suci lainnya [al-masya'ir al-muqaddasah]. Bukan saja untuk melayani jamaah haji dan umrah, tetapi juga sebagai pengabdian terhadap bangunan yang paling disucikan umat Islam.
Sejarah mencatat perluasan Masjidil Haram pertama kali dilakukan pada masa :
a.       Umar bin Khattab [tahun 17H], kemudian diikuti oleh
b.      Utsman bin Affan [tahun 26H]
c.       Abdullah bin Zubair [tahun 65H]
d.      Al-Walid bin Abdul Malik [tahun 91H]
e.       Abu Ja'far al-Manshur [tahun 137H]
f.        Muhammad al-Mahdiy [tahun 160 dan 164H]
g.       Al-Mu'tadhid Billah [tahun 284H]
h.       Al-Muqtadir Billah [tahun 306H]
 
 
Setelah itu hampir seribu tahun dibawah kekuasaan dinasti Fathimiyah, Mamalik dan Ottoman, Masjidil Haram tidak mengalami perluasan kecuali hanya sekedar renovasi dan perbaikan. Banyak rumah berdiri dan menempel di sekeliling Masjidil Haram dan mengakibatkan Mas'a [tempat Sa'i] terpisah. Mas'a hanya tampak seperti jalan memanjang yang berdiri di sekeliling rumah-rumah dan pertokoan.
Pada awal masa pemerintahan kerajaan Arab Saudi, King Abdul Aziz, membentuk divisi khusus pemeliharaan dan pelayanan Masjidil Haram. Perluasan menyeluruh terjadi pada masa King Su'ud yang dilakukan dalam empat tahap mulai tahun 1375H selama hampir 20 tahun dan pada masa King Fahd yang ditandai dengan peletakan batu pertama perluasan Masjidil Haram pada tanggal 2 Shafar 1409H.
Terkait dengan Mas'a sejarah mencatat, yang pertama kali memasang atap Mas'a sebagai pelindung dari sengatan panas matahari dan hujan adalah penguasa Hijaz, Husein bin Ali bin Aoun pada bulan Syawal 1341H. Saat itu masih sebatas jarak dari Marwah ke Bab al-Abbas. Pada tahun 1366H, masa King Abdul Aziz atap tersebut dibuat lebih modern mencakup seluruh Mas'a kecuali sepanjang 8m² dari arah Bab Ali yang masih berupa halaman luas.
Khalifah Al-Mahdi, dari dinasti Abbasiyah yang melakukan perluasan Masjidil Haram paling besar di masa lalu, disinyalir mempunyai peran besar dalam meratakan Mas'a yang dahulu berupa lembah naik turun. Tercatat pula King Abdul Aziz yang pertama kali melapisi jalan Mas'a dengan batu persegi empat. Semula Mas'a hanya berupa tanah yang sangat berdebu.
 
Perluasan Mas'a secara besar-besaran terjadi pada masa King Su'ud tahun 1375H. Rumah-rumah dan pertokoan disekitar Mas'a dihancurkan dan dibuat jalan baru yang memanjang disamping Shafa dan Marwah. Mas'a yang digunakan jamaah haji dan umrah paling tidak sampai tahun lalu adalah hasil perluasan King Su'ud tersebut. Perluasan ini didasari atas rekomendasi team khusus yang terdiri dari para ulama' yang dipimpin oleh Mufti  Saudi yang lalu, Syeikh Muhammad bin Ibrahim Al al-Syeikh melihat semakin bertambahnya jumlah jamaah haji dan umrah tahun demi tahun, hasil perluasan tahun 1375H tersebut dianggap tidak lagi memadai. Kajian teknis terhadap bangunan yang ada berkesimpulan bahwa bangunan tersebut hampir tidak layak untuk menampung jamaah yang selalu bertambah. Dengan niat untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada jamaah haji-umrah, sejak tahun lalu King Abdullah melontarkan ide untuk memperluasMas'a 20 meter ke arah timur. Sehingga lebar keseluruhannya menjadi 40 meter.
Mas'a yang lama akan dijadikan satu jalur untuk kembali dari Marwah menuju Shafa dan Mas'a yang baru untuk berangkat dari Shafa menuju Marwah. Masing-masing dengan lebar 20 meter. Mas'a yang semula dua lantai akan ditambah menjadi tiga lantai. Dengan demikian Mas'a yang baru diperkirakan akan dapat menampung sekitar 3 juta 850 ribu jamaah. Perluasan ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah jika dibanding dengan perluasan Khalifah al-Mahdi dan King Saud.
 
Perluasan Paling Kontroversial
Dibanding sebelumnya perluasan kali ini dinilai paling kontroversial. Sebelum melakukan perluasan yang saat ini sedang berlangsung, sekitar dua tahun yang lalu, melalui Pangeran Mut'ab bin Abdul Aziz, Menteri Urusan Perkotaan dan Pedesaan [wazir al-shu'un al-Baladiyah wal Qarawiyah], Raja Abdullah eminta kepada Hay at Kibar al-Ulama' untuk menyelenggarakan sidang khusus terkait rencana perluasan Mas'a.
Setelah mengkaji dan mempelajari konsep perluasan selama hampir 4 hari [dari tanggal 18-24 Shafar 1427H] Hay at Kibar al-Ulama' dalam putaran sidang yang ke 64 di Riyadh mengeluarkan keputusan tertanggal 22 Shafar 1427H, No. 227 yang menolak rencana perluasan tesebut. Mayoritas anggota Hay at Kibar al-Ulama' menilai, bangunan yang ada sekarang [hasil perluasan King Saud] telah mencakup semua area Mas'a sehingga tidak boleh diperluas lagi.
Jika dirasa perlu memperluas, mayoritas anggota Hay at Kibar al-Ulama' menyarankan untuk menambah bangunan diatasnya bukan dengan cara memperluas kesamping. Fatwa tersebut merujuk kepada Fatwa sebelumnya yaitu Fatwa No 21 tanggal 21/11/1393H yang memperbolehkan berSa'i di atap masa [lantai atas] jika diperlukan dan Fatwa para ulama' dibawah pimpinan Syeikh Muhammad Ibrahim tentang batas-batas Shafa dan Marwa.
Sebagian ulama' Hay at Kibar al-Ulama' mendukung perluasan tersebut dengan alasan rencana perluasan tersebut tidak keluar dari batas-batas Shafa dan Marwah. Mereka yang mendukung antara lain Syeikh Abdullah al-Mani, Syeikh Abdullah bin Jabrin, Syeikh Abdullah al-Mutlaq dan Syeikh Abdul Wahhab Abu Sulaiman.
Karena secara fiqih ulama' berbeda dan sebagai bentuk kehati-hatian karena menyangkut keabsahan ibadah, King Abdullah meminta agar di cari orang-orang yang pernah menyaksikan posisi Shafa dan Marwah sebelumberubah karena perluasan King Saud. Ditemukan  tujuh orang berusia lanjut[paling muda diantara mereka berusia 70 tahun] yang bersaksi diatas sumpah di pengadilan Makkah bahwa bukit Shafa memanjang kearah timur dari posisi sekarang melebihi jarak rencana perluasan, demikian pula Marwah. Kesaksian mereka diikuti oleh 13 orang lainnya, sehingga kesemuanya berjumlah 20 orang.
Kesaksian ini didukung oleh hasil penelitian Badan Geologi [Hay at al-Misahah al-jiyulujiyyah]  terhadap sampel batu yang diambil dari bukit Shafa dan Marwah, Mas'a yang sekarang dan batu yang diambil dari lokasi yang akan menjadi tempat perluasan. Badan Geologi berkesimpulan, bukit Shafa adalah ujung [lisan] dari Jabal Abi Qubais mempunyai landasan yang memanjang ke arah timur dari tempat yang sekarang sekitar 30 meter, sementara Marwah memanjang sampai 31 meter dari yang sekarang.
Menurut Dr. Abdul Wahhab Abu Sulaiman, anggota Hay at Kibar al-Ulama' yang mendukung perluasan setelah sebelumnya menolak, beberapa diskusi yang diselenggarakan oleh Hay at Tahwir Makkah al-Mukarramah wal Madinah al-Munawwarah wal Masya'ir al Muaqaddasah, di kantor pusat kajianhaji [Ma'had Khadim al-Haramain li Abhats al-Hajj] di Makkah, menyimpulkan bahwa luas bukit Shafa dan Marwah yang asli lebih besar dari yang terlihat di muka bumi. Dasarnya memanjang lebih dari yang tampak di permukaan. Puncak dan sampingnya telah banyak dipecahkan dan diratakan dengan permukaan tanah. Karena itu, perluasan itu bukan hanya rukhshah [keringanan], tetapi juga ketetapan hukum asal ['azimah].Setelah mempertimbangkan pandangan ulama' yang menolak dan ulama' yang mendukung perluasan, keterangan para saksi bahwa bukit Shafa dan Marwah memanjang melebihi lebarnya saat ini dan mengingat tidak ada penjelasan pasti dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang membatasi lebar Mas'a seperti lebarnya sekarang, maka King Abdullah memutuskan mengambil pendapat yang membolehkan perluasan
Berbeda dengan ulama' Saudi yang menolak perluasan, 200 ulama' dari dunia Islam seperti di tulis harian Al-Hayat [2/4/2008] justru mendukung perluasan. Mereka antara lain ; Syeikh Yusuf al-Qardhawi, Ketua Kesatuan Ulama' Islam se-Dunia, Syeikh Muhammad Sayyed Thanthawi, Grand Syeikh Al-Azhar, mantan Mufti Mesir, Syeikh Nashr Farid Washil dan lain-lain. Menurut Al-Qardhawi, perluasan adalah untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi umat Islam yang ber-haji dan ber-umrah dan berangkat dari hukum Allah.
Yang menjadi permasalahan apakah ada ketentuan batas area Mas'a [lebarnya] ? dan apakah kita terikat dengan batasan tersebut atau boleh keluar dari batas tersebut ang tidak terlalu jauh dan sejajar dengannya ? kalaupun ada batasan tentang lebarnya Mas'a apakah lebarnya itu mencakup perluasan yang baru atau tidak ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita lihat penjelasan dari sumber yang otoritatif tentang bahasan Mas'a dari masa ke masa.
 
Lebar Mas'a
Imam Nawawi dalam kitab Tahdzib al-Asma wa al-Lughat menjelaskan, Shafa adalah tempat tinggi dekat pintu Masjidil Haram [bab al-Shafa]  yang merupakan hidung/ujung [anf], atau bagian dari Jabal Abi Qubais. Dalam kamus Taj'al Arus yang merupakan syarah Al-Qamus al-Muhith,Shafa adalah bukit ecil yang menyatu dan berada di ujung gunung Abi Qubais. Posisinya agak sedikit ke bawah seperti kata al-Fasi dalam Syifa al-Gharam [1/442]
Sedangkan Marwah, menurut Imam Nawawi adalah ujung dari gunung Qu'alqi'an posisinya rendah sekali. Yaqut al-Hamawi, pengarang Muj'am al-Buldan, menyebutnya sebagai akmatun lathifah [bukit kecil]. Pakar Tafsir dan Mufti Tunisia, Ibnu Asyur menyebut Shafa dan Marwah sebagai Jubaylani [dua gunung/bukit kecil].Tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits penjelasan Rasulullah tentang lebar Mas'a. Hanya saja dalam Shahih al-Bukhari, ditemukan riwayat Ibnu Umar, salah seorang sahabat yang sangat memperhatikan ucapan dan perbuatan Rasul, yang mengatakan : Sa'i bemula dari rumah Bani Abbad sampai ke lorong [Zuqaq]  Abu Husein.
Dalam kitab Fath al-Bari yang menjelaskan Shahih Bukhari, dijelaskan bahwa Ibnu Umar turun dari bukit Shafa dan ketika berada pada posisi sejajar dengan rumah Bani Abbad, beliau berSa'i sampai lorong yang berada antara rumah Bani Abi Husein dan rumah Bint Qarazah. Yang dimaksud dengan bersa'i dalam riwayat tersebut adalah lari/berjalan yang agak cepat.
Selain menjelaskan darimana sa'i bermula dan berakhir, menurut sebagian ulama' riwayat tersebut menjelaskan lebar Mas'a. Penyebutan rumah Abbas bin Ja'far al-A'idzi dari arah Shafa dan lorong Abi Husein dan Bintu Qarazhah dari arah Marwah memberi informasi penting tentang lebar Mas'a Menurut sejarawan Al-Faqihi dan Al-Azraqi, rumah tersebut berada di Jabal Qubais.
Menurut riwayat Sufyan al-Tsauri selalu bermalam disitu setiap kali datng ke Makkah. Di depan pintu rumah itulah para sahabat memulai sa'i, karena di tempat itulah mereka menyaksikan Rasul memulai sa'i. Pada masa perluasan A-Mahdi, tahun 167H, rumah tersebut terkena pelebaran Masjidil Haram karena sebagiannya merupakan Mas'a dan sebagian lainnya berada di Jabal Abu Qubais.
Tentang peristiwa itu Al-Faqihi menceritakan, " . mereka menghancurkan sebagian besar rumah Abbad bin Ja'far Al-A'idzi dan menjadikannya Mas'a. Mereka juga menghancurkan rumah-rumah yang berada diantara Shafa dan lembah [al-wadi] ...". Dalam beberapa literatur sejarah yang muncul belakangan, seperti karya Al-Fasi [abad ke-9] nama rumah ini berubah mejadi rumah Salmah binti Aqil.
Pada bulan Jumada al-Tsaniyah 1376H, saat perluasan Mas'a, menurut ahli sejarah Al-Qurdi, rumah tersebut dihancurkan dan ditetapkan sebagai batas lebar Mas'a dari arah Bab Al-Abbas, salah satu pintu Masjidil Haram [antara Bab Ali dan Bab al-Nabiyy] yang berada di seberang rumah itu. Ketiga rumah diatas [Abbad bin Ja'far, Abi Husein dan Bint Qarazhah] menjadi informasi penting bagi para sejarawan untuk mengukur dan menetapkan lebar Mas'a.
Abu al-Walid al-Azraqi menyebut, jarak antara tanda yang berada di pintu masjid dan pintu rumah Dar al-Abbas 35,5 dzira' [jengkal]. Jika mengikuti pandangan Madzhab Syafi'i dan Hambali yang mengatakan 1 Dzira' = 61,834cm maka lebarnya adalah 21,95 meter. Dan jika mengikuti pandangan ulama' Madzhab Hanafi yang mengatakan 1 Dzira' = 46,375 cm maka lebarnya adalah 16,46 meter. Menurut al-Fasi, lebarnya 37,5 dzira. Dan menurut al-Faqihi 35 dzira' [jengkal] dan 12 jari [asbu'] yakni sekitar 16 meter.
Dari kalangan ulama' kontemporer, sejarawan Husein Basalamah menjelaskan lebarnya 12 meter dan menurut team yang diketuai oleh Syeikh Muhammad Ibrahim lebarnya 16 meter. Perbedaan hitungan itu [dzira'] karena jengkalan tangan manusia berbeda-beda, ada yang panjang dan ada yang pendek Tetapi meskipun berbeda kisaran hitungan lebarnya hampir berdekatan, antara 12-22 meter.
Inilah yang menjadi dasar perluasan Mas'a pada mas King Saud yang digunakan ummat Islam sampai sebelum di renovasi oleh King Abdullah dengan menarik garis lurus dari Shafa ke Marwah. Atas dasar itu pula Fatwa Hay at Kibar al-Ulama' tahun 1427H menegaskan bahwa lebar Mas'a adalah praktek yang dilakukan para generasi terdahulu, mulai dari masa Rasulullah hingga saat ini [wa ardhuhu yahkumuhu 'amalu al-qurun al-mutataliyah min ahdi al-nabiyy shallallahu alayhi wasallam ila yawmina hadza].
Data-data diatas menjadi argumentasi yang paling kuat bagi sebagian ulama' ketika mereka menolak perluasan King Abdullah. Menurut mereka, praktek sa'i Rasulullah yang diiikuti oleh para sahabat dan generasi-generasi setelahnya menunjukkan bahwa itulah yang dimaksud dengan lokasi sa'i, seperti dalam QS. Al-Baqarah/2 : 158. Bagi mereka yang mendukung, data-data itu hanyalah perkiraan manusia dari masa ke masa berdasarkan realita yang mereka alami.
Dalam konteks perdebatan saat ini, batasan panjang dan lebar Mas'a menjadi penting untuk diketahui sebab terkait dengan keabsahsn ber-sa'i di tempat yang baru sebagai hasil perluasan. Mereka yang mendukung perluasan dan membolehkan sa'i di tempat yang baru boleh jadi karena berpandangan boleh ber-sa'i diluar batas lebar Shafa dan Marwa, atau berpandangan harus ber-sa'i dalam batas-batas area tertentu [panjang dan lebarnya], hanya saja lebarnya meluas hingga melebihi lokasi perluasan yang baru.
 
Kalimah Akhirah
Demikian beberapa dalil dan alasan yang digunakan oleh masing-masing yang mendukung dan yang menolak perluasan. Terlepas dari setuju atau tidak,yang jelas Raja telah mengambil keputusan dan proyek perluasan telah dimulai. Artinya, beberapa saat lagi persoalan ini bukan lagi sekedar wacana tetapi telah menjadi realita yang harus disikapi.
Kemungkinan yang akan terjadi mereka yang bersikeras menolak karena perluasan itu berada diluar Mas'a yang syar'i akan merasa tidak sah ibadahnya jika ber-sa'i disitu. Lebih fatal lagi jika mereka tetap menggunakan lokasi lama untuk pulang pergi Shafa-Marwah-Shafa, dalam rancangan perluasan baru menjadi satu arah untuk kembali dari Marwah menuju Shafa sebab akan sulit di hindari terjadinya tubrukan massa. Seandainya mereka yang mendukung perluasan, termasuk pemerintah Arab Saudi, berubah fikiran dan yaqin akan kebenaran argumentasi mereka yang menolak, maka proyek perluasan yang telah berlangsung dan hampir selesai dapat di fungsikan antara satu dari dua pilihan. Pertama : Area perluasan dijadikan sebagai tempat shalat, sedangkan Mas'a tetap digunakan yang lama. Pilihan ini tidak menyelesaikan masalah.
Kedua : Mas'a yang lama dibiarkan untuk dua arus [pulang dan pergi],demikian juga yang baru. Dengan demikian jamaah diberi pilihan untuk mengikuti pandangan ulama' yang diyakininya tidak dipaksa ber-sa'i sesuai pandangan dan dalil yang membolehkan. Seandainya terjadi kepadatan di Mas'a yang lama dengan sendirinya jamaah berfikir untuk mengambil pilihan yang mudah yaitu dengan ber-sa'i di Mas'a yang baru apalagi mereka tahu itu ada dalilnya juga.
Pada akhirnya lama kelamaan jamaah haji dan umrah akan mempertimbangkan pandangan ulama' yang membolehkan sebagai alternatif yang memudahkan. Hal ini pernah terjadi saat dibangun Mas'a dilantai atas. Awalnya banyak yang tidak "sreg" untuk ber-sa'i diatas tetapi melihat kepadatan dilantai dasar banyak juga yang kemudian beralih keatas. Kemungkinan ini tentu sulit terjadi, tetapi dapat dijadikan usulan pertimbangan.
Dan jika pemerintah Arab Saudi bersikeras dengan konsep perluasan yang baru dengan berlandaskan pada argumentasi ulama' yang membolehkan, maka tidak ada jalan lain bagi pemerintah negara-negara muslim untuk kecuali segera mengambil sikap dengan mensosialisasikan argumentasi perluasan tersebut. Demikian.

IV. KESIMPULAN

Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni mengakui bahwa tantangan penyelenggaraan haji untuk tahun ini lebih berat. Dampak dari proyek perluasan dan renovasi Masjidil Haram Mekah akan membuat ketersediaan pemondokkan bagi jamaah haji semakin berkurang.

Hal ini tak saja dirasakan bagi jemaah Indonesia, dari berbagai negara lain pun mengalami hal serupa. Ketika berlangsung Rapat Kerja antara Menteri Agama (Menag) RI M. Maftuh Basyuni bersama anggota Komisi VIII, di DPR, Jakarta, terungkap pula bahwa pelebaran Masjid paling utama bagi umat Islam sedunia itu sendiri memakan jarak hingga radius 380 meter.

Ketua Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) 1428 H/2007 M, Nur Samad Kamba menyatakan, proyek perluasan di Masjidil Haram, Makkah merupakan keputusan Raja yang secara turun temurun yang memerintah Arab Saudi.

Undang-undang Dasar Saudi Arabia menyebutkan, ada kewajiban setiap Raja melakukan perluasan Masjidil Haram dan menyediakan sarana dan fasilitas lebih baik bagi jamaah haji.

Namun semua itu tak akan mengganggu kenyamanan calon jemaah haji dalam beribadat. Kesulitan akibat jauhnya jarak pemondokan dari Masjidil Haram teratasi setelah tersedianya 600 bus yang dapat dioperasikan secara bertahap.

V. PENUTUP

Demikian makalah ini dibuat tentunya terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu kritik dan sarana sangat saya harapkan sehingga dapat menyempurnakan makalah ini semoga makalah ini bermanfaat amin.

.

DAFTAR PUSTAKA

Ø www.mail-archive.com

Ø www.mail-archive.com

Ø www. ruslihasbi-wordpress.com

Ø www.wordpres.com



[2] www.pelita.or.id/ hariab pelita umum

[3] .www.wordpres.com

[4].www. ruslihasbi-wordpress.com

Tidak ada komentar: